Masih ingat sepenggal bait lagu Iwan Fals yang berjudul Asik Nggak Asik?

“Dunia Politik Penuh dengan Intrik
Cubit Sana Cubit Sini itu Sudah Lumrah
Seperti Orang Pacaran
Kalau Nggak Nyubit Gak Asik…
…Dunia Politik Penuh dengan Intrik
Kilik Sana Kilik Sini itu Sudah Wajar
Seperti Orang Main Jangkrik
Kalo Gak Ngilik Gak Asik…”

Itu sepenggal lagunya yang menggelitik saya. Selama ini kita mengenal Iwan Fals (atau nama aslinya Virgiawan Listanto) sebagai seorang legenda hidup musisi Indonesia, padahal selain itu beliau adalah seorang karateka aktif penyandang sabuk hitam Dan IV dari Wadokai.

Lirik tersebut, buat saya, memberikan pesan karakter kuat dari seorang Iwan Fals sebagai seorang karateka yang “hidup”, yang selalu gelisah dengan kondisi yang dianggapnya tidak sesuai dengan hati nurani. Lontaran kritik dalam lagu itu seolah menggambarkan bahwa ‘ada yang salah’ dengan sebagian kehidupan kita.

Lagu itu menggambarkan bahwa politik itu selalu penuh dengan trik, intrik, tipu muslihat. Realitasnya sebagian besar memang benar seperti itu. Pun bagi sebagian orang, politik menjadi sebuah ‘istilah’ yang menggambarkan kesan “kekotoran”, abu-abu, penuh nafsu, dan sederet keburukan lainnya.

Politik telah menjadi sarana keegoisan manusia, dan dengan politik karakter dan ego manusia muncul, homo homini lupus, serigala pemakan bagi serigala lainnya.Konflik biasanya bermula ketika ego satu orang/ pihak tidak tertampung oleh orang/ pihak lain.

Kita bisa baca dan saksikan juga dalam karate, mulai dari penyebarannya, dalam konteks dunia modern, karate telah berkonflik, mulai dari tingkat yang kecil sampai yang spektakuler, sampai hari ini. Bisa konflik dari diri sendiri, maupun hubungan dengan orang lain.

Dalam contoh karate, konflik bisa mulai dari dojo, bahkan internal perguruan di level elit. Konflik memang telah menjadi sunnatullah (otoritas Tuhan) dalam relasi antar-manusia. Inilah yang berhasil dirumuskan oleh Hegel dengan rumusan Dialektika Sosial atau Dialektika Hegel dalam istilah tesis, antithesis, sintesis. Muncul konflik (tesis), muncul negasi (antithesis), dan menghasilkan sesuatu yang baru (sintesis atau dianggap tesis baru), serta ini akan berlanjut terus.

Master Funakoshi semenjak awal tidak menghendaki karatedo dipertandingkan. Namun kemudian Shihan Masatoshi Nakayama malah “melanggarnya” dan membuat pertandingan, meski setelah meninggalnya Master Gichin. Munculnya  konflik ‘persepsi’ ini membuat Master Gichin ‘menyepi’ dari JKA dan membuat Shotokai, yang sampai sekarang diteruskan oleh Klan dari Shihan Shigeru Egami.

Konflik terjadi ketika ego muncul dan  semua orang berpendapat ini yang terbaik. Demikian pula konflik internal perguruan karate di Indonesia, bisa menjadi contoh konflik dalam karate. Entah karena masalah sepele, sampai masalah prinsip.

Sejak awal di tubuh FORKI sudah terdapat konflik ketika dulu ada yang menginginkan masuk ke WUKO dan IAKF, atau sekarang antara WKF dan ITKF. Contoh lain, organisasi INKAI, ada yang sekarang mengerucut ke FKTI dan FORKI. Selain itu, kemunculan INKANAS dibarengi pula dengan pemisahan diri sebagian anggota LEMKARI yang bergabung dengan MKC dan membentuk INKANAS, sampai kabar terakhir (saya kurang pasti untuk yang ini), ada juga perselisihan antar-karateka di PERKAINDO yang memutuskan diri membentuk SHOTOKAI (ini tidak ada kaitannya dengan nama Shotokai dari Shigeru Egami).

Bahkan (katanya, dan ini perlu diklarifikasi seadainya tidak benar), Kandaga Prana dibentuk oleh sebagian dari karateka BKC awal yang memisahkan diri. Pun demikian dengan aliran kyokushinkai di Indonesia dengan perpecahan yang paling terlihat antara Shihan Nardi dengan Shihan JB Sujoto.

Konflik-konflik seperti itu sejatinya memang memang bisa mencerai-beraikan kesatuan kita sebagai karateka. Namun, memang kita tidak bisa menghindari berpisah ketika dasar argumen ini berkaitan masalah prinsip, ideologis. Hanya memang ‘perpisahan’ itu tidak boleh melunturkan semangat karatedo kita untuk saling menjaga kehormatan. Boleh beda, dimungkinkan ada konflik, namun Karatedo [selalu] diawali dan diakhiri oleh sikap menghormati (Karate-do wa rei ni hajimari, rei ni owaru koto wo wasurna) adalah sebaik-baiknya sikap kita.

Politik [ego] memang kadang bisa menghancurkan tali persaudaraan. Namun, ini tergantung ‘keberanian’ kita untuk saling menghormati, to respect each other. Saya tidak bermaksud sama sekali mencampuri urusan internal perguruan masing-masing. Ini hanya respon saya terhadap kondisi yang sekarang. Kebetulan saya suka dengan lagu Iwan Fals di atas, jadi saya coba cari ‘garisnya’.

Oke. Daripada berbicara yang lain lagi, saya mau nyanyi lagu Iwan Fals berikutnya.

“…Namaku Bento
Rumah Real Estate
Mobilku Banyak
Harta Berlimpah
Orang Memanggilku
Bos Eksekutif
Tokoh Papan Atas
Atas Segalanya
Asik…!”

***

*Rjpntr