Dalam sejarah karate di Indonesia, saya merasa bahwa BKC (Bina Ksatria Cita atau lebih dikenal dengan Bandung Karate Club) merupakan salah satu organisasi karate yang memiliki keunikan tersendiri. Banyak keunikan yang bercita rasa Indonesia bisa ditemukan dalam BKC. Misalnya Sumpah Karate (Dojo Kun) disebut Panca Dharma Ksatria BKC, Kata disebutnya Tata Gerak, dan juga panggilan untuk karateka Senior (termasuk pendiri BKC itu sendiri), dan banyak keunikan lainnya. Keunikan yang akan saya jelaskan di sini yaitu panggilan terhadap karateka senior.

Biasanya dalam tradisi karate, untuk karateka murid biasanya disebut kohai, untuk senior disebut senpai, untuk guru biasanya disebut sensei atau shihan. Namun yang cukup unik dalam BKC adalah panggilan mulai dari senior karate BKC adalah (A-) Kang untuk senior laki-laki dan (Te-) Teh untuk senior perempuannya sampai pendiri BKC sendiri, Kang Iwa Rahadian Arsanata.

Panggilan ini dianggap unik karena memang dalam organisasi karate di Indonesia biasanya mengikuti tradisi dari bahasa Jepang. Dalam pandangan saya, pilihan untuk menggunakan frasa panggilan ini positif karena mereka menganggap bahwa satu sama lain adalah sama. Tentu kadar panggilan itu saja yang berbeda dan akan memanggil Kang terhadap Kang Iwa dengan nilai penghormatan yang tinggi.

‘Rasa Indonesia’ ini menjadi keunikan yang menonjol, karena BKC telah tersebar di seluruh Indonesia. Di daerah (setelah saya bertanya ke beberapa senior BKC), panggilan Akang dan Teteh ini menjadi seragam. Menjadi unik ketika di daerah Padang misalnya, karateka BKC memanggil guru atau senior dengan panggilan Akang atau Teteh. Padahal dalam kultur itu biasanya ada panggilan untuk yang lebih tua yakni Uda atau Uni. Selain itu, panggilan Akang dan Teteh menjadi sebuah perekat rasa kesatuan yang menguat. Terlihat jarak atau sekat antara senior dan junior menjadi tipis, kecuali rasa penghormatan yang besar.

Di dalam organisasi karate yang lain yang secara literal-kultur mengikuti tradisi yang sama dengan di Jepang, kadang ada semacam ‘kekeliruan’ untuk memanggil Senpai atau Sensei. Kita tidak tahu bahwa yang kita temui itu sudah Dan VI (yang secara tradisi harus dibilang sensei), namun kita justru memanggil Senpai.

Tentu tidak salah, dan mungkin yang bersangkutan pun tidak mempermasalahkan. Apalagi batas untuk menyebut senpai atau sensei menjadi kabur, ketika karateka yang sudah terbiasa memanggil senpai harus memanggil sensei (ketika sensei itu sudah meraih Dan V atau VI misalnya). Sehingga, dalam pandangan saya konsepsi panggilan akang dan teteh menjadi positif untuk kasus seperti itu.

Namun, ada yang ‘kurang’ dalam panggilan akang dan teteh. Seperti diungkap kasus di Padang, kalau memang semua orang sama dan setara (tidak memandang asal usul dan ras), tentu panggilan di satu daerah dengan daerah lain akan berbeda. Misalnya di Papua (saya tidak tahu panggilan untuk seniornya), panggilan ini menjadi berarti ganda, bisa positif atau ‘negatif’ (tidak dalam pengertian yang jelek). Positif untuk menyamakan level secara sama (dalam lingkungan internal BKC), dan juga ‘negatif’ ketika memperlakukan semua orang harus sama dalam perspektif ras Sunda (Kang Iwa sendiri merupakan pendiri BKC yang berasal dari tanah Sunda).

Tentu saja tulisan ini hanya melihat dari satu sisi tertentu dari pandangan ‘orang luar’ (karateka yang bukan anggota BKC). Sehingga pandangan untuk menilai positif dan ‘negatif’ ini bisa saja ada kurangnnya. Namun, itulah keragaman dan penyemaian nilai ke-Indonesia-an dalam karate yang telah dilakukan oleh BKC. Sebuah panggilan yang unik dan berkarakter.

*Rjpntr