Bagi sebagian karateka (cenderung sama secara umum), meraih sabuk hitam adalah salah satu kebanggaan dan tujuan ketika belajar karate. Bagi mereka sabuk hitam adalah simbol ketinggian dalam meraih keunggulan karateka. Latihan dari sabuk putih sampai sabuk coklat dengan latihan yang melelahkan, waktu yang lama, dan latihan yang harus intensif. Jadi wajar keinginan untuk mendapatkan sabuk hitam menjadi salah satu tujuan penting bagi karateka. Tulisan ini sebenarnya terinspirasi oleh celetukan lucu menarik yang membuat penulis langsung berpikir apakah memang menjadi sabuk hitam itu enak? Hm… 

Ceritanya, penulis pada suatu hari mengikuti latihan bersama (pragashuku) untuk menghadapi ujian dan kenaikan tingkat di level cabang. Ketika sedang mengontrol peserta yang sedang latihan kihon yang dibantu oleh sabuk hitam lainnya di lapangan, tiba-tiba ada celetukan dari sabuk coklat kyu 1.

Entah kondisinya menjelang siang dan panas, atau karena melihat sabuk hitam yang mengontrol dan memberikan instruksi tanpa melakukan gerakan sebanyak dirinya, si anak ini mengungkapkan celetukan tersebut. “Pengen segera jadi sabuk hitam nih,” katanya berbisik ke teman yang ada di sampingnya. Penulis sendiri tidak memperhatikan wajahnya, hanya sepintas dari sudut mata terlihat kekesalan si anak. 

Penulis merasa bahwa celetukan itu mengetuk memori ego penulis bahwa ‘Sudah Sabuk Hitam’ dianggap selesai. Bagi sebagian karateka pemula, anggapan itu mungkin ada benarnya karena seolah-olah setelah meraih sabuk hitam ‘saya bebas (untuk tidak latihan, berlatih dan melatih)’.

Bagi mereka seolah sabuk hitam itu titik kulminasi seseorang untuk berhenti latihan. Seolah ketika ‘Sudah Sabuk Hitam’ dibenarkan untuk hanya sekedar memberi instruksi latihan, hanya berbicara. Ada satu kekurangan dalam melatih yakni ternyata pelajaran karate untuk karateka pemula tidak sebatas karate secara fisik, tapi memang perlu –Do (sebuah fasilitas untuk memperbaiki karakter pribadi) yang selama ini kerap dilupakan para senpai untuk diberikan kepada kohainya.

Latihan karate sering hanya disampaikan lewat latihan fisik yang kadang bahkan sering melupakan aspek nilai yang sesungguhnya akan membentuk karakter karateka sedari awal. Bahwa karate tidak sebatas melatih anggota tubuh saja. 

Selain itu, konsistensi senpai untuk memberi contoh nilai-nilai baik ini sering pula dilupakan oleh karateka sabuk hitam, terutama yang baru jadi pemegang sabuk hitam. Sikap yang sering dilakukan adalah datang terlambat untuk melatih. Entah karena kesibukan pribadi atau karena memang sudah kebiasaan. Kalau memang hanya sekali, mungkin masih dipahami kohai pemula (yang sering pula didampingi oleh orang tuanya). Tetapi kalau sudah sering dan menjadi kebiasaan, kita patut bertanya lebih.
Penulis menganggap tidak sepenuhnya kita menyalahkan sikap kohai. Faktor senpai yang sering memberi contoh lewat perilaku menentukan sikap tersebut. Contoh yang sederhana lainnya adalah ketika ada latihan gabungan, selain telat datang, sabuk hitam jarang sekali pemanasan yang benar!

Mereka sekedar menggerakkan tubuhnya sambil ngobrol tanpa fokus bahwa sikap pemanasan yang seperti itu salah dan bisa mencederai tubuhnya ketika latihan kumite (sparring) dengan kohai yang telah melalukan pemanasan yang baik. Sehingga kohai pemula menganggap bahwa itu adalah benar dan (khawatirnya) itu menjadi suatu pola yang terbentuk dalam benak mereka, seperti celetukan kohai di atas. 

Selain itu, sebenarnya untuk penulis, ketika ‘Sudah Sabuk Hitam’ justru pada saat itulah penulis merasa bahwa ini titik awal kedua seorang karateka untuk belajar karate yang sesungguhnya. Sudah Sabuk Hitam memang sebuah pilihan. Setelah meraih sabuk hitam, sebenarnya seseorang memulai sebuah titik latihan yang baru dimana tingkat latihan yang harus sudah terpola dengan baik, tingkat pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang karate yang berbeda dengan karateka pemula, kualitas gerakan yang semakin membaik, dan tidak kalah pentingnya memahami –Do yang semakin harus menjadi bagian penting sikap karateka penyandang sabuk hitam.

Gichin Funakoshi sebagai salah satu founding fathers aliran karate di dunia sudah memberikan warning bahwa ‘latihan karate tidak cukup dan sekedarnya latihan di dojo’. Sebab karate layaknya ‘air dalam teko yang harus selalu dipanaskan’. Ini tentu saja prinsip yang kadang kita sering lupakan (bahkan secara sengaja) dan menjadi bumerang ketika para senpai tiba-tiba harus menghadapi latihan sparring dengan kohai yang sudah terbiasa latih tanding. 

Jadi secara sederhana, kohai yang berkeinginan untuk mendapatkan sabuk hitam tidak ada salahnya. Hanya jangan melihat sabuk hitam sebagai titik batas latihan karate. Justru harus melihat bahwa sabuk hitam adalah tanggung jawab baru untuk secara bertahap menjadi karateka yang insan kamil (paripurna dalam sikap, pengetahuan, dan banyak contoh kebaikan lainnya). Semoga menjadi bahan diskusi dan bermanfaat.

*Rjpntr