Bagi praktisi karate, Kata adalah materi penting yang harus dikuasai bagi seorang karateka. Dalam tradisi karate, Kata dipelajari ketika kihon sudah terbentuk dan dipahami oleh karateka/ kohai. Dengan mempelajari Kata, kihon akan turut terdorong menjadi lebih baik. Selain dituntut memahami Kata, dalam Kata juga banyak tersimpan berbagai hal. Banyak para penulis karate mengungkapkan kembali filosofi Master Gichin Funakoshi, yang mengatakan bahwa Kata adalah Karate dan Karate adalah Kata. Bangunan persepsi ini membentuk satu karakter karateka yang memungkinkan semakin memahami Kata, maka karateka akan semakin memahami karate.


Bahkan Master Funakoshi menegaskan, untuk mempelajari Kata dibutuhkan waktu yang lama dengan intensitas latihan yang tinggi. Dia mengatakan kurang lebih tiga tahun adalah waktu yang tepat untuk menuntaskan latihan Kata. Bayangkan seandainya saja, misalnya di kurikulum Shotokan, ada 26 Kata yang perlu dipahami, kemudian dikalikan sebanyak 3 kali maka hasilnya perlu 78 tahun bagi kita untuk tuntas memahaminya! Tidak heran kemudian Master Funakoshi menegaskan bahwa belajar karate adalah belajar seumur hidup. Belajar yang tidak saja hanya di dalam ruangan latihan, namun juga belajar memahami di balik rahasia Kata.

Sebenarnya sederhana saja belajar karate. Hanya perlu latihan menangkis, tendang, pukul, banting, atau juga kuncian. Ini yang paling dasar. Sebatas latihan fisik semata. Tapi yang paling penting adalah belajar untuk memahami karate dalam tingkat di atas latihan fisik. Latihan pengelolaan diri dalam tempaan fisik, latihan mengolah karakter dalam gerakan-gerakan tersebut dan latihan-latihan lain yang bersifat non-fisik jauh lebih sulit daripada sekedar menghafal Kata atau latihan tangkis-tendang-pukul.

Pada dasarnya manusia mempunyai karakter agresif. Artinya kecenderungan untuk melakukan tindakan reaktif terhadap hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita besar. Untuk itu, hal ini dipahami benar oleh Master Funakoshi. Sehingga ungkapan Karate Ni Sente Nashi (Tidak ada Inisiatif [bukan tidak mempunyai daya kehendak, namun lebih kepada sikap tidak memulai sikap agresif] atau Tidak ada Sikap Menyerang Terlebih Dahulu dalam Karate) menjadi benar adanya.

Agresivitas ini coba diredam dalam bungkusan keharusan karateka mempelajari kihon sebagai bentuk dasar yang dilanjutkan dengan latihan Kata, baru latihan kumite di akhir adalah bentuk preventif agar karateka tidak menggunakan kemampuan beladiri karatenya sebagai alat memenuhi kecenderungan sikap agresif. Bungkusan-bungkusan rahasia itu menjadi bentuk indah Kata yang secara umum bagi karateka pemula atau yang kurang menyukai, Kata itu membosankan. Bahkan dalam beberapa kasus, karateka enggan (?) untuk melanjutkan kenaikan tingkat ke yang lebih tinggi karena ‘malas’ untuk menghafal Kata.

Namun apakah kita memang harus melulu latihan Kata? Kata tidak sebatas merangkaikan gerakan. Tidak hanya alat dijadikan bahan kompetisi saja. Kata pun bisa menjadi pencarian karakter diri kita. Coba kita perhatikan, permulaan dari setiap Kata adalah tangkisan. Sebuah renungan pembelajaran bahwa latihan karate bukan untuk petantang-petenteng seperti preman pasar. Justru dengan latihan karate, karakter pribadi yang tidak berkeinginan untuk memperlihatkan karate karena tingkat resiko tinggi dan membahayakan jiwa orang lain akan semakin menonjol. Karena paham bahwa dengan latihan nafas yang benar dan pukulan yang tepat sasaran pada daerah rawan di tubuh bisa membunuh, maka dorongan untuk menjadi agresif semakin menurun. Karateka sadar bahwa akhirnya bukan lagi saya sudah bisa memukul lantas ingin mencobanya dengan menantang orang lain. Tapi sikap tidak berhasrat untuk memulai sebuah tindakan fatal jauh lebih penting daripada sekedar meng-KO lawan.

Benar pula apa yang diungkapkan oleh guru besar KKI (Kushin Ryu Karatedo Indonesia) Sensei Horyu Matsuzaki bahwa Karate itu Ibarat Celana Dalam. Sebuah analogi cerdas yang kalau kita pikirkan dan renungkan benar adanya. Karate penting dalam kehidupan sehari-hari. Penting sebagai alat mengolah raga diri kita, mengolah jiwa kita, membentuk karakter yang berintegritas (sikap, mulut, hati, pikiran adalah satu) dan juga sebagai alat pertahanan diri (dalam posisi terdesak). Karate tidak pantas diperlihatkan, sebagaimana celana dalam yang tidak pantas diperlihatkan kepada muka umum. Namun peran vital karate itulah menjadi dasar bahwa kita harus seperti padi yang semakin berisi semakin merunduk. Semakin berpengalaman dan berilmu tinggi, semakin rendah hati.

Oleh karena itu, Kata bukan lagi kita tempatkan sebagai alat penghafal gerakan saja (meski memang harus hafal). Namun juga dari Kata, kita belajar banyak mengenai karate, mengenai kehidupan. Bahwa Kata adalah karate, dan karate adalah Kata bukan sekedar slogan, namun harus kita praktekkan pula. Tulisan ini tidak bermaksud menggurui, karena memang hanya setitik air di lautan pengetahuan lainnya yang mencoba memberikan persepsi bahwa karate tidak hanya sebatas mengolah raga, tapi mengolah jiwa.

*Rjpntr