Di dalam seni beladiri Jepang, terdapat sebuah konsep yang disebut Giri, yang artinya merujuk pada ‘Loyalitas’, ‘Kesetiaan’ atau ‘Kepatuhan’. Konsep ini dipahami dan diaplikasikan oleh masyarakat Jepang secara luas. Tapi tidak di Barat, dan akan menjadi jelas alasan-alasannya dalam ulasan berikut.

Di Okinawa, tempat lahirnya karate-do, tempat latihan biasanya di tempat sensei (guru) itu berada, dimana pada waktu itu Okinawa merupakan pulau yang tidak begitu kaya dan juga tempat yang tidak terlalu luas. Maka seringnya, latihan itu digelar di rumah atau di halaman. Kelas benar-benar kecil, dan para murid (kohai) merupakan orang-orang pilihan pelatih.

Dalam setiap tujuannya sensei, dulu (dan mungkin sampai sekarang), berusaha untuk mendidik satu murid pilihan sebagai penerus dirinya dalam sistem latihan yang intens, memberinya pelajaran secara penuh, sehingga sewaktu-waktu dia akan siap mengambil alih latihan dan menggantikan gurunya dalam mengajar.

Oleh karena itu, bagi sensei yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyempurnakan dan meningkatkan kemampuannya pada seni beladiri, harus benar-benar memilih murid atau murid-muridnya untuk mewarisi perguruannya, mengajar mereka dalam seluruh aspek karate-do dan para murid pada akhirnya diharapkan untuk tetap tinggal dan menemani gurunya, memberikan loyalitas dan penghormatan yang tinggi, dengan mau kembali mengajar di dojo tersebut.

Itu adalah relasi dua arah dimana guru memberikan semua yang dia ketahui kepada murid-murid pilihannya. Sebagai balasannya, para murid pilihan diharapkan akan selalu mengakui sensei itu sebagai gurunya, dan membantu gurunya sampai dia siap untuk meneruskan dojo atau sekolah tersebut.

Ini adalah jalan karate-do semestinya, seperti hubungan antara ayah dan anak. Sensei adalah “ayahnya” dan murid adalah “anaknya”. “Sang ayah” mendidik “anak”-nya mengenai karate-do, dan ketika beranjak dia akan membantu “ayah”-nya, bahkan jika mereka pergi diharapkan hubungan itu tidak berubah dan juga dapat kembali untuknya kapanpun dia mau.

Di Barat, sebagian orang mengganggap karate sebagai belanja di supermarket. Mereka memilih mereknya, kemudian pergi ke kasir, dan membayarnya. [“Ini uang $5 saya, dan berikan saya karate senilai $5“]. Kemudian, jika mereka tidak suka, mereka akan memilih merek lain.

Orang-orang tidak memahami bahwa dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk memahami seluruh aliran karate-do (tradisional). Seperti yang sudah ditunjukkan oleh Sensei Yamaguchi yang sudah menghabiskan seluruh hidupnya untuk belajar karate-do, dan mengajar hanya satu aliran karate-do.

Hal ini menuntun kita pada konflik antara “Karate Olahraga” dengan seni “Karate-do”. “Karate Olahraga” mendorong orang-orang untuk menjadi pemenang, dengan cara mengalahkan yang lain dalam Kata atau Kumite. “Karate-do” mengajarkan bahwa musuhmu adalah dirimu sendiri, dan kamu harus selalu meningkatkan kemampuan dirimu, dengan tidak perlu mengorbankan siapapun.

Oleh karena itu, dalam Karate Olahraga –jika menang itu adalah berarti – kamu tidak perlu untuk tetap loyal kepada pelatih kamu. Kamu bisa tinggalkan dan pergi sesuka hatimu dari satu aliran ke aliran yang lainnya. Jika kamu tidak menang ketika dilatih oleh pelatih A, pergi ke pelatih B dan latihanlah dengan dirinya. Siapa tahu dia akan memberikan kamu kemenangan.

Akhir-akhir ini, saya memperhatikan beberapa murid bukan saja berpindah dari satu guru ke guru lainnya, namun juga berganti-ganti dari satu aliran ke aliran karate-do berikutnya. Sebagai contoh, bulan April mereka mengikuti kejuaraan yang diselenggaran oleh ‘Si Anu’ dengan mewakili perguruan ‘Dim Sim Do’ [sesuai aslinya_penj]. Akhirnya di bulan Juni mereka kembali bertanding dengan menggunakan kostum ‘No Kan Do’ [sesuai aslinya_penj].

Dengan kata lain mereka adalah “Jack Sang Petualang” dan master dari segalanya. [bersambung]

Artikel aslinya berjudul On Giri: Loyalty yang ditulis oleh Shihan Starling, Wakil Presiden IKGA untuk wilayah Oceania. Editing dan alih bahasa oleh Blog Kindo (Karate-do Indonesia).