Penikmat film dan seni beladiri di masa tahun sekitar 1970-an pasti tidak asing mendengar nama Bruce Lee (bahkan mungkin sampai sekarang pun). Nama yang melekat pada sosok aktor dan praktisi beladiri Wing Cun (Tsun), yang kemudian dikembangkannya menjadi Jeet Kun Do, ini begitu fenomenal dan menyihir jutaan mata penikmat film tidak saja hanya di wilayah Asia, namun juga di Amerika dan Eropa. Pemilik nama asli Lee Jun Fan ini merupakan salah satu praktisi beladiri dalam generasi emas penyebaran beladiri kungfu dalam film-film bergenre beladiri. Aktor yang akrab di sapa dalam lingkungan keluarganya sebagai Lee Hsien Lung (atau berarti si Naga Kecil) ini sejak kecil memang sudah memperlihatkan bakat-bakat seni dan juga kemampuan beladirinya. Dia pernah menjadi juara dansa dan juga menggemari banyak beladiri, terutama Wing Cun.
Bakat besar itu kemudian menjadi komoditi yang mahal dan menjual. Beberapa film beladiri menjadi lompatan karir Bruce Lee di dunia perfilman yang mengantarkannya menjadi selebritis dan sekaligus praktisi beladiri kaliber dunia yang diakui oleh banyak kalangan. Sebut saja misalnya film The Big Boss, The Fist of Fury, The Way of The Dragon, Enter The Dragon, dan juga The Game of Death yang tidak sempat diselesaikannya menjadi film-film yang mengangkat namanya, selain film lain. Film-film ini memperlihatkan kualitas Bruce Lee sebagai salah satu praktisi beladiri yang mumpuni. Tak jarang dalam setiap adegan, pengarah kamera perlu meminta Bruce Lee agar lebih memperlambat gerakannya, saking cepatnya gerakan yang dia lakukan.
Dalam beberapa episode kehidupannya, dia sempat mengalami cedera dan mengharuskan istirahat tanpa kegiatan syuting atau latihan keras. Pada masa itulah dia mendalami sisi filosofis dan spiritual ajaran beladirinya secara lebih matang. Ajaran filsafa Jiddu Krisnamurthi merupakan sisi filsafat yang mempengaruhi filosofis beladiri Jeet Kun Do. Begitu pula dengan Taoisme dan Zen yang dia pelajari.
Menarik dicatat adalah bahwa dalam beberapa filmnya, terutama dalam film The Way of Dragon, dia beradu akting dengan Chuck Norris, praktisi karate yang juga juara karate Internasional selama tujuh tahun berturut-turut. Dia seolah-olah ingin menunjukkan bahwa beladiri Cina tidak pula kalah dari beladiri Jepang, karate. Meski memang tuntutan skenario naskah mengharuskan Bruce Lee dengan gaya kungfu Cina-nya menang melawan karate. Tentu ini adalah sisi lain menaikkan kebanggaan terhadap Cina di hadapan Jepang. Perlu diperjelas juga bahwa sentimen ini bisa kita lihat dalam film-film berkhas Cina ‘melawan’ Jepang.
Selain itu, dalam suatu ketika Bruce Lee pernah ditanya oleh muridnya mengenai perbedaan Karate dan Kungfu. Dengan lugas dia mengatakan bahwa karate itu ibarat batang besi dan kungfu ibarat rantai besi yang ujungnya ada bola besi. Dia mengibaratkan bahwa kungfu itu dinamis dan lentur dibanding karate, meski sama-sama keras layaknya besi. Dia yang pernah mendirikan The Jun Fan Gung Fu Institute berfilosofis bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan haruslah fleksibel, praktis, cepat, dan juga efisien. Sehingga gerakan yang dilakukan tidak perlu mengeluarkan tenaga yang besar dan sia-sia, namun berguna dan tepat.
Kecepatan dan momentum adalah faktor utama dalam dasar beladirinya. Ketika seorang lawan menyerang, pada saat itulah daya tahan tubuh lawan berkurang dan pada saat momentum itulah kita harus menyerang secara cepat dan efektif. Sehingga tidak perlu mengeluarkan tenaga sebesar mungkin. Maka niscaya lawan akan bisa dikalahkan.
Filosofi ini mirip dengan filosofi karate (begitu juga dengan beladiri lainnya). Bahwa momentum dan juga kecepatan menjadi faktor penentu kemenangan pertandingan karate. Selain harus punya kecepatan dan momentum, juga daya defence kita sebagai counter attack harus siap. Karena kita tidak tahu bisa saja lawan dengan kecepatan lebih bisa memotong gerakan kita. Maka memang benar apa kata Bruce Lee, bahwa latihan adalah menu yang tidak boleh dilewatkan, layaknya kita makan sehari-hari. Untuk menjadi terampil dan ahli latihan adalah kuncinya. Osu.
Posting Komentar